Dulu saat saya masih duduk di bangku sekolah setiap kompetisi yang saya ikuti selalu menjadi petualangan yang luar biasa. Mulai dari lomba IPA ke Bandung waktu SMP yang pulang tengah malam sendirian membawa piala karena ditinggalkan guru pendamping, lomba di kedutaan besar Korea yang mana skrip lomba saya diumpetin sama temen yang iri sehingga saya gugur, ikut OSP naik mobil angkut sapi, hingga kompetisi ekonomi se-Jawa, Bali, dan Sumatera di IPB yang tidak diizinkan Kepsek tapi nekat berangkat dan kabur dari sekolah. Semuanya penuh petualangan unik yang kapan kapan akan di ceritakan satu persatu.
Saat ini saya sudah jadi guru, tepatnya guru honorer, belum sertifikasi, belum punya NUPTK pula. Parah banget kan saya, gak pro banget jadi guru. Banyak kompetisi yang ingin saya ikuti tapi syaratnya musti punya NUPTK, ya sudah cuma bisa nonton. Monggo yang lebih profesional ber-NUPTK dan juga PNS ikutan, saya akan bersorak sebagai penonton mendukung dari belakang. Cukup bahagia saya.
Namun saya masih punya cara berkompetisi, caranya adalah jadi guru punya murid dan mereka yang saya suruh lomba, saya suruh kompetisi, saya suruh kuliah setinggi tingginya. Meskipun saya cuma S1, murid saya minimal S1 bahkan kalau bisa S3. Saya tak perlu bertabur air mata sedih karena sulit berkompetisi, namun bisa bertabur haru kalau siswa saya bisa menang kompetisi, nembus PTN, jadi sarjana. Artinya saya sukses jadi guru.
Dulu waktu sekolah, pernah lomba, ada hadiah uang tunai. Tapi ada yang sampai, sampai dalam jumlah terpangkas (tidak sesuai nominal yang disebutkan dan ditandatangani), atau bahkan tak sampai sama sekali (hanya gabus tulisan nominal rupiahnya). Tapi Ndak pernah sedih, sudah menang saja Alhamdulillah. Berhubung saya kadang lomba juga gak pake modal, cuma otak aja. Kalau dianterin guru seneng banget, gak dianterin naik mobil angkut sapi biar transport dari sekolah ada lebihnya pun girangnya bukan main. Yang penting bertualang.
Kalau sekarang siswa saya lomba insyaAllah musti komitmen kalau mereka dapat hadiah uang tunai sampaikan ke anaknya 100%, kecuali dipotong pajak sama pemerintah. Karena itu jerih payah mereka, masalah jerih payah kita membimbing itu sudah jadi kewajiban dan pahala kita. Anak menang kita sudah bangga bukan main.
Sore ini mendadak ada tamu, siswa ngasih bingkisan. Siswa yang kemarin baru menang kompetisi se-Kabupaten dan bikin bangga orang tuanya. Dapat hadiah jutaan rupiah, Alhamdulillah sudah saya salurkan semua sesuai yang dikirimkan panitia dinas sosial (terima kasih banyak Dinsos Kab. Bekasi).
Bingkisannya bikin saya terhura eh terharu…semoga masa depannya cerah. Saya ingat ini anak yang mendadak saya suruh pulang waktu ujian tulis semester (sebelum Covid ) dan baru dikasih tau di rumah bahwa ibunya wafat. Agar tidak syok khawatir pingsan di jalan. Sedih juga saya anak lagi ujian mendadak saya suruh pulang tanpa alasan anaknya celingak celinguk bingung. Tapi tahun berikutnya dia bisa jadi anak berprestasi. Saya melihat masa depan saat dia bersusah payah persiapan lomba serta banyak berdoa untuk kemenangan. Karena disanalah pendidikan karakter bisa diukur ketercapaiannya. Karakter pantang menyerah, sportifitas, berjiwa besar, disiplin, kerja keras, dan religius. Itu lebih berharga dari Thropy, sertifikat, dan juga hadiah uang tunai nya. Karena Thropy cuma bisa dipajang, piagam akan lusuh, dan uang akan habis. Namun karakter bisa bertahan dalam waktu yang panjang bahkan hingga akhir hayat.
Saya mungkin bukan menteri pendidikan yang bisa bagi-bagi pulsa untuk BDR se-Indonesia, bukan juga kepala dinas yang bisa tanda tangan ngasih beasiswa untuk siswa siswi berprestasi, namun saya bisa nyuruh anak lomba. Udah itu aja saya bahagia sebagai guru sekolah terpencil di pedalaman Bekasi pinggir kali CBL yang ada saljunya tiap saya pulang dari sekolah (gile Bekasi ada salju iklim beda sama Indonesia)
Ibarat kata…(“ibarat kata” adalah bahasa yang sering diucapkan oleh orang daerah Tambun, saya menuliskan kalimat “ibarat kata” dalam upaya menjunjung kearifan lokal Tambun dan sekitarnya)
….
Kalau kita tak bisa jadi jalan raya, mungkin kita bisa jadi jalan setapak yang bisa menuntun orang orang menuju mata air (mata air kebahagiaan)
Ya begitulah tantangan jadi guru, kebahagiaan nya tiada bertepi, meskipun gajinya 10 koma (tanggal 10 udah koma), tapi koma lebih baik ketimbang titik atau tanda seru. Karena koma bukan berarti stop melainkan sedikit melompatkan spasi untuk menyapa kata kata yang menyambung nafas kalimat kalimat kehidupan selanjutnya.
Saya tanya murid siapa mau jadi guru? Gak ada yang acung tangan. Dalam ati (ati artinya hati, ini juga bagian dari kearifan lokal kata kata daerah Tambun): ntar kalau gagal masuk IPB, ITB, UI, UGM, baru lu pada banting setir jadi guru. Wkwkwk. Kejem amat saya. Ya intermezo, cuma becanda. Namanya juga guru, kalau gak marah marah ya becanda. Mau serius-serius amat dia ga ngajar mahasiswa, tapi anak puber, galau, belum dewasa, nanggung, yang butuh teman dan sahabat yang bisa diteladani. Itulah kita: GURU.
Penulis: Bima.S.Ariyo, S.Pd.