SEKILAS INFO
: - Selasa, 14-05-2024
  • 3 tahun yang lalu / Selamat Memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Shallahu’alaihi Wassalam
  • 3 tahun yang lalu / Website Dalam Proses Develop (80%)
Ketupat Di Waktu Itu... - Cerpen

Langit saat itu penuh dengan suara letusan dan warna-warni yang dihasilkan oleh kembang api. Suasana dan kondisi yang benar-benar seluruh umat di dunia merindukannya. Keluarga yang tadinya berpencaran dan terdistribusi diberbagai daerah, dengan waktu itu pun mereka dapat kembali bersama. Bercerita tentang selama mereka berpisah akibat adanya kepentingan yang lain. Aku ingat saat itu umurku masih termasuk kedalam kategori balita. Dimana saat itu, pusat perhatian hanya ada padaku karena masih imut-imutnya untuk mencubit pipi yang sebesar bakpao.

Untuk memulai hari besar umat Islam yaitu Idul Fitri, ada beberapa langkah untuk memenangkan hari raya tersebut. Langkah tersebut biasa disebut dengan Puasa. Ya. Aku mengenal puasa dimana saat itu aku melihat beberapa orang sedang menahan nafsu makan dan minumnya dengan waktu yang sudah ditentukan. Shalat tarawih yang dilakukan malam hari,  membuatku sangat senang sekali karena aku bisa bermain dengan teman sebayaku, membeli beberapa jajanan yang aku suka, sehingga suasana ini selalu jadi momen yang ditunggu. Saat itu, aku masih tinggal di kampung Pisangan terletak di Cirendeu-Tangerang Selatan. Aku masih ingat. Puasaku saat itu masih setengah hari dikarenakan aku belum berani untuk menguatkan untuk tidak makan dan minum sampai waktu maghrib. Mungkin bisa dibilang hanya sekali atau dua kali untuk melakukan puasa satu hari penuh. Alasan lainnya, ibu dan ayah yang selalu memaksa untuk puasa setengah hari karena usiaku yang masih 5 tahun tidak cukup kuat untuk melakukannya. Dan kondisi saat itu dimana aku masih terlihat sangat kurus bagaikan tulang dilapisi kulit.

Aku saat itu memiliki adik yang umurnya tidak jauh dari umurku. Jarak umur kami hanya berbeda 3 tahun. Kami berdua merupakan anak yang sangat mandiri. Bisa dibilang begitu. Kami sudah tidak bisa menghitung tempat mana sajakah yang telah menjadi titipan kami baik itu dititipkan pada saudara atau tetangga mana yang bersedia mengurus kami. Ibu dan ayah sangat sibuk untuk mencari 3 pokok kebutuhan. Hal yang paling mengesankan saat puasa adalah hari libur ayah dan ibu kami. Walaupun sehari, kami sangat senang sekali. Dan walaupun, saat itu aku dan adik tidak berpuasa.

Rumah kami hanya kontrakan yang disediakan oleh bos ayahku untuk para supir angkutan umum yang bekerja dengan beliau. Ayahku saat itu bekerja sebagai angkutan supir dengan jurusan D19 yang menuju ke arah Cirendeu-Pondok Cabe. Bos ayahku adalah orang yang berasal dari kampung yang sama dengan ayah yaitu Sumatera Utara. Kontrakan bos ayahku terdiri dari 10 rumah kontrakan, 1 gudang mesin mobil angkutan, 1 ruang kantor bos ayahku dan 1 warung. Selain itu, ada tempat steam mobil, ada lapangan sebagai tempat penyimpanan mobil-mobil angkutan ada kamar mandi umum 2 dan 1 tempat cuci baju terbuka dan saat kecil aku suka mandi bersama teman-temanku di tempat cuci baju tersebut.

Rasa kekeluargaan kami dengan tetangga yang lainnya sangat erat sekali. Rumah kami sama-sama kecil tapi mampu menghangatkan, mampu melindungi kami dari panas maupun lebatnya hujan. Rata-rata tetanggaku berasal dari seberang pulau Jawa ke arah barat yaitu pulau Sumatera. Ya. pulau Sumatera juga merupakan asal dari ayah dan ibuku dilahirkan. Ayah yang terlahir sebagai orang batak dan ibu yang terlahir sebagai orang minang membuat diriku semakin lengkap untuk mencintai tanah air. Beberapa perbedaan yang membuatku semakin paham bahwa  perbedaan itu bukan selamanya menjadi alasan mereka untuk tidak saling mencintai.

Begitu juga yang dapat kurasakan dengan tetanggaku yang lainnya, entah itu perbedaan suku, agama, fisik, maupun ekonomi. Hampir saja kami seperti saudara yang sangat amat dekat. Beberapa hari selama sahur tepat jam 2 dini hari, beberapa pemuda yang bekerja dilingkungan rumah kontrakan kami selalu membangunkan yang lainnya untuk sahur. Setelah, membangunkan orang-orang untuk sahur aku kira pemuda-pemuda tersebut langsung makan untuk sahur, tau-taunya mereka tidur kembali menunggu waktu sahur mendekati imsak. Ibuku berkata, “dasar anak muda”.  Karena, makin seringnya mereka seperti itu, rasa penasaranku pun memuncak. “Kenapa sampai mereka tidur kembali?”, “apa mereka kelelahan bekerja sampai-sampai mereka kembali lagi tidur”. Dengan kepolosan anak kecilku, aku pun bertanya kepada ayahku. “yah.. apa karena kelelahan bekerja seharian mereka sampai tidur kembali?”. Ayahku memercikkan senyumnya sambil membaca koran yang merupakan terbitan kemarin. “mereka itu hanya lelah karena nonton pertandingan sepak bola yang tayang jam 2 pagi, jika tidak ada pertandingan bola mereka juga tidak akan sahur”. Akupun sempat berfikir kembali, ”apakah pemain sepak bola itu tidak pada sahur, kenapa mereka bermain bola saat gelap seperti ini?”.

Sekarang, saatnya aku menceritakan bagian buka puasaku bersama tetangga-tetannggaku. Kuingat rumah kontrakan kami dibelakangnya memiliki kebun yang begitu luas. Beberapa pemilik kebun tersebut menanamnya dengan hasil-hasil tani yang dapat dijual dipasar. Ada beberapa pohon pisang dan timun suri. Oh ya, selain dibelakang rumah kontrakan, didepan rumah kontrakan kami juga terdapat pohon alpukat, pohon jengkol dan pohon mangga yang sangat-sangat besar begitu juga dengan hasil buahnya. Kami berbuka puasa dengan santapan yang kami buat bersama, puasa kami pun terasa bahagia karena kebersamaan. Rasanya aku akan bersama mereka, ya dengan tetanggaku dan teman-teman kompleks kontrakan untuk selamanya.

Hari itu pun berlalu, ayah dan ibu kembali bekerja lagi. Aku dan adik mulai dititipkan dirumah saudara dari ayahku yang biasa aku panggil dengan mamak. Mamak sangat baik sekali, dia sangat menyayangi kami. Mamak hanya memiliki 1 anak angkat. Kami berbeda keyakinan. Mamak kami beragama katolik sedangkan kami islam. Maklum.. orang Sumatera khususnya saudara ayahku dulu mayoritas beragama non muslim.

Tempat mamak memang terbaik. Rumahnya yang cukup luas, dengan bapak yang selalu mengasihi kayu manis yang tersimpan digudangnya. Pohon mangga yang tinggi dan rindang, cocok untuk aku yang saat itu susah untuk tidur siang.

Setelah lama nyaman dengan mamak, kulihat beberapa barang yang ada di rumah mamak dirapihkan kedalam kardus yang cukup besar. Di kamar bang Janet sudah tidak ada lagi barang-barang yang biasanya berserakan. Tiba-tiba kamarnya menjadi hampa dan kosong. Kucari bang Janet dan kutanyakan kepada mamak. Mamak pun menjawab yang seharusnya tak ingin kudengar, ”mamak besok udah pindah dari rumah ini, mamak pindah ke pondok cabe”. Saat itu, aku hanya diam. Tidak menangis. Bingung, dan pastinya sedih. Ibuku pun mulai kebingungan harus kemana aku dan adikku dititipkan. Ibuku merasa tak enak jika harus merepotkan tetanggaku selalu, walaupun tetanggaku tidak masalah terhadap itu semua. Ibu dan ayah juga tidak memiliki uang banyak untuk menyewa seseorang untuk menjaga kami berdua.

Tetanggaku pun mengatakan bahwa ada tenaga kerja murah yang dapat menjagaku dan adik yang rumahnya tak jauh dari rumah kontrakanku. Akhirnya, ibu langsung menjumpai tenaga kerja tersebut dan mulai menitipkan aku dan adik ke bibi tersebut. Namanya bibi Isma. Bibi Isma tinggal di rumah ibunya yang single parent, dan bibi Isma yang statusnya belum menikah. Aku tebak saat itu umurnya mungkin mencapai 30an lebih. Akhirnya, kami mulai akrab dengan bi Isma. Bermain bersama dan melakukan aktivitas seperti biasanya dengan bi Isma. Tetapi kebersamaan kami dengan bi Isma cukup singkat, mungkin itu hanya dua minggu saja.

Setelah dua minggu berpuasa, banyak hal yang terjadi baik itu yang menyenangkan maupun menyedihkan. Tetapi, akhir-akhir ini banyak kejadian malah membuatku semakin sedih. Itu terjadi saat aku tidak sengaja mendengar perbicangan ayah dan ibu saat mereka sedang sahur. Entah kenapa, tidak biasanya mereka tidak membangunkan aku, ya walaupun aku tau aku susah untuk dibangunkan sahur. Kudengar mereka membicarakan soal pekerjaan ibu. Aku yang saat itu tidak mengerti pembicaraan mereka, berusaha untuk tetap menguping apa yang mereka diskusikan. Aku hanya paham ayah berkata, “tidak usah lagi bekerja, jagalah anak-anak dirumah”, dan ibu pun menjawab, ”jika hanya mengandalkan hasil dari ayah saja, ini tidak akan cukup”. Bagaimanapun alasan ibu, ayah tetap berpegang terhadap perkataannya, sedangkan ibu yang berusaha ingin tetap bekerja akhirnya mengalah dengan ayah. Besok paginya, aku dan adik senang sekali ibu berada dirumah menjaga kami. Ayah berangkat lebih pagi dan lebih malam tidak seperti biasanya. Akhirnya, waktu kami kepada ayah lebih sedikit dibandingkan dulu. Wajahnya yang sangat kusam seharian mencari penumpang sampai larut malam hanya dapat aku lihat ketika aku terbangun mendengar suara angkutan mobil ayah, sehabis itu aku pun kembali ketikar untuk tidur kembali. Dan hal itu terus saja berulang.

Setiap malam semenjak ibu berada dirumah, aku mendengar suara yang cukup menakutkan. Suaranya terdengar seperti tangisan seorang perempuan. Ah, kukira itu hanya suara dari televisi yang belum dimatikan atau suara yang ada dalam mimpiku. Besok malamnya seperti biasa, ayah pulang larut malam, hampir jam 11 malam. Ibu menyuruh untuk aku jangan tidur dulu, ia menyuruhku untuk menunggu ayah. Setelah kudengar suara mobil angkutan ayah aku langsung beranjak dari tikar tempat tidurku. Aku duduk disamping ibu dan ibu berkata, “nak, coba kamu kekantor bos ayah, pura-puralah kamu sedang bermain didepan kantornya”. Tanpa berpikir panjang aku langsung menuruti kata ibu. Aku langsung bergegas melaksanakan apa yang disuruh oleh ibu. Aku dengar bos ayahku membentak-bentak ayah dan membanting-banting telapak tangannya ke arah meja. Aku pun langsung berlari mengatakan hal apa yang kudengar dari luar tadi. Aku melaporkannya kepada ibu. Ibu tidak mengatakan hal apapun. Ibu hanya terdiam, mata ibu pun mulai berkaca-kaca.

Seminggu sebelum lebaran, ibu dan ayah pergi dan menitipkan kami ke tetangga. Hampir waktu buka puasa ibu dan ayah belum juga kembali. Jadi, kami memutuskan untuk menerima tawaran teman kami untuk berbuka puasa dirumahnya. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil angkutan ayah dan benar dugaanku. Hari demi hari mulai berlalu. Mulai mendekati hari yang telah dinanti-nanti. Teman-temanku sudah mulai menunjukkan baju baru, sepatu baru, aneka kue kering, ketupat dan hal lainnya. Aku dan adik hanya bisa melihat kesenangan mereka. Ibu dan ayah tak kunjung memberiku barang-barang baru yang bisa kupamerkan kepada teman-temanku di hari lebaran nanti.

Kulihat ibu dan ayah sangat sibuk dengan mengarduskan barang-barang, yang kukira saat itu mereka hanya membersihkan barang-barang agak terlihat rapih saat hari lebaran nanti. Ibu juga tidak membuat kue kering, tidak membeli bahan-bahan yang dimasak untuk hari lebaran nanti.

Pada sore itu, ibu dan ayah menyuruhku dan adik untuk mandi. Selekas mandi kami berkeliling kerumah tetangga. Selama kami mengunjungi satu persatu rumah tetangga, ayah dan ibu meneteskan air matanya sambil memeluk dan berjabat tangan. Aku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini belum saatnya, ini belum lebaran.

Terdengar suara mobil pickup didekat rumahku. Tiba-tiba tetangga yang lain berkumpul didepan rumahku, dan terlihat dua orang laki-laki keluar dari mobil itu. Dua orang laki-laki itu mulai berkolaborasi dengan tetanggaku. Ayah dan ibu mendekat pada kerumunan yang terjadi dirumah. Ibu menunjuk barang-barang yang semalam mereka karduskan. Ayah, tetangga dan juga dua orang laki-laki itu mulai mengangkat dan memindahkannya satu persatu ke dalam mobil pick up. Aku lagi-lagi bingung. Apa yang terjadi lagi? Apakah aku pindah rumah? Ibu mulai mendekat dan berkata kepadaku, “nak, maafkan ibu.. ibu tidak tau bagaimana cara ibu bilangnya kepadamu. Maafkan ibu kalau ibu sering menitipkan kamu ke tetangga, ke mamak, ke bi Isma. Maafkan ibu, yang selalu tidak bersamamu dan adikmu. Maafkan, jika sekarang hal itu terjadi lagi. Ibu dan ayah akan menitipkan kamu ke bibi di Bekasi. Sedangkan, ayah ibu dan adik akan pindah rumah ke rumah nenekmu yang ada di Medan.”, ujar ibu sambil meneteskan air mata yang membanjiri dan menghapuskan riasannya yang tadi siang sudah ia mantapkan. Aku terkejut, aku pun menangis, menangis layaknya anak umur 5 tahun.

Tak lama kemudian, mamak dan bang Janet tiba. Mamak juga terlihat menangis dan mulai menggendongku yang ketika itu aku menangis sejadi-jadinya. Ibu seolah menitipkan aku kepada mamak untuk mengantarkan aku kerumah bibi yang ada di Bekasi. Kenapa hanya aku sendirian yang ditinggal?

Setelah barang-barang siap dikemas didalam mobil pick up. Ibu, ayah dan adik mulai menjabat satu persatu lagi pada orang-orang yang ada disana. Tangisanku pun mulai memecah kembali. Giliran tiba saat aku menerima pelukan perpisahan dari mereka, ibu berlari ke arah mobil dengan cepat. Ibu memberikan sekotak makanan yang didalamnya ada ketupat. Iya, dia memberikannya kepadaku. Kuingat, ada 3 biji ketupat. Ibu saat itu mencium pipiku dengan pipi yang sama-sama basah akibat air mata kami. “ibu memberikan ketupat 3 ini sesuai dengan tanggal lahirmu nak.. maafkan ibu dan ayah membuat suasana lebaranmu menjadi sepi dan terpisah dari kami. Maafkan ibu hanya memberikan ketupat, bukan baju baru, sepatu baru atau mukenah baru.. maafkan ibu..”. Sambil memeluk erat tubuh kecil ini.  Semakin lama, pelukan itu semakin mengendur. Ibu, ayah dan adikku mulai memasuki mobil taksi untuk ke bandara. Lambai tangan itu semakin membuatku tersakiti. Aku tidak ingin mengingat lambaian tangan yang membuatku tersiksa sampai rasanya ingin mati karena rindu.

Cahaya matahari mulai menyentuh wajahku di pagi itu. Hangatnya seperti pelukan ibu. Aku bangun dengan suasana yang berbeda. Kamar dan kasur yang kurasakan sangat berbeda. Aku mulai beranjak dari kasur besar itu, mulai membuka pintu dan berjalan kearah yang menjadi titik fokusku. Aku terpusat keruang tamu. Banyak foto-foto keluarga yang terpasang diruangan itu. Ada bingkai kecil yang sangat menarikku untuk melihatnya. Itu foto dimana keluargaku dan keluarga bibiku tahun baru di monas, Jakarta. Di dalam frame itu semua sosok yang kurindukan walaupun baru sehari aku berpisah dengan mereka. Aku mulai menitikkan kembali air mataku. Bibi yang waktu itu sudah libur dari kantornya berusaha mengajakku pergi jalan-jalan disekitar kompleks rumah. Suasana sekitarku semakin membuatku memburuk melihat mereka yang seumuran denganku sedang bermain dengan keluarganya.

Setelah puas melihat-lihat diluar, bibi mengajakku kembali pulang. Bibi menyuruhku untuk diam dikursi ruang tamunya. Bibi bergegas kedalam kamar. Setelah itu, bibi keluar dan membawa bingkisan yang cukup besar dilapisi kertas kado berwarna merah jambu dengan kertas putih yang ditempel berwarna putih dilengketkan dipojok kanan atas bertuliskan, ”untuk Gita”. Aku merasa sangat senang melihat bingkisan itu. Usaha bibi kali ini kuanggap berhasil untuk menghilangkan sedikit kesedihanku. Saat kubuka bingkisan tersebut, ternyata didalamnya ada sebuah sepatu cantik berwarna putih, baju baru, tas baru, kotak makanan berwarna merah jambu dan mukenah baru. Kebahagiaanku pun mulai memuncak. Aku coba satu persatu dan semua itu pas dengan ukuran tubuh kecilku. Saat aku membuka kotak makananku didalamnya terdapat surat. Mau kuapakan surat ini? Aku saat itu belum bisa membaca. Aku pun meminta tolong kepada bibi untuk membacakannya. Bibi pun mulai membacanya,

anakku Gita…

Terimakasih sampai umurmu saat ini, kamu telah memberi pengertian kepada ibu dan ayahmu. Kamu mampu menuruti apa yang diperintahkan oleh ayah dan ibumu. Kamu tidak memberontak saat ibu dan ayah menitipkan dan mengoper kamu kesana kemari. Kamu tidak menuntut waktu untuk menyisakan waktu kami bersama kalian. Kamu tidak rewel saat ibu memasak makanan yang itu-itu saja. Terimakasih anakku.. kamu mau berkorban sedikit untuk meneruskan perjalananmu nanti. maafkan ibu saat itu ibu pulang terlalu larut malam. Sebelum hari itu, ibu mendengar cerita dari bi Isma, kamu melakukan puasa sehari penuh, karena ayah saat itu berjanji untuk memberikan kamu sepatu baru yang kamu inginkan. Dan saat itu, ibu mulai bekerja dan berusaha keras agar ibu bisa mengabulkan permohonanmu itu. Semoga bingkisan yang tak seberapa ini bisa menghilangkan kesedihanmu saat ini nak. Ibu akan berjanji nanti kita akan membuat ketupat bersama, membelah ketupat bersama dan memakan ketupat bersama. Setelah kamu masuk sekolah nanti, seringlah telpon ibu, jangan tinggalkan shalatmu nak. Selamat idul fitri anakku

Dari ibu, ayah dan adik.”

Ibu, Ayah ini adalah masa yang tidak aku lupakan selama hidup. Dan doa yang selalu kuucapkan dan tak kulupakan kepada Allah, “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan kedua orangtuaku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktuku kecil. Aminn ya rabbal alamin.”

 

=Tamat=

Oleh: Gita Merdayanti, S.Pd.

 

4 komentar

Bonar, Senin, 25 Jan 2021

Keren bu gita, semoga kedepan kehiduan bu gita menjadi lebih baik lagi tidak seeperti mamak dan bapak yaa

Balas

Siti Robi'ah, Selasa, 26 Jan 2021

Kesabaran atas episode hidup yang telah terjadi pasti tidak akan Allah sia-siakan. Insya Allah akan ada hadiah terindah yang Allah sdh sipkan untuk bu Gita

Balas

Bima Ariyo, Jumat, 29 Jan 2021

Mantab bu Gita komennya paling banyak

Balas

Yudi Haryanto, Senin, 21 Jun 2021

Sangat menarik

Balas

TINGGALKAN KOMENTAR

Data Sekolah

SMAN 8 TAMBUN SELATAN

NPSN : 69982031

Jl. Sasak Bakar Utama RT / RW : 2 / 13, Desa Muktiwari
KEC. Cibitung
KAB. Bekasi
PROV. Jawa Barat
KODE POS 17520
TELEPON -
FAX -
EMAIL sman8.tamsel@gmail.com

Didukung Oleh

Logo Prov Jawa Barat

Cabang Dinas Pendidikan Wil. III
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat